“Tahun
itu kegembiraan begitu memuncak. Panji dan bendera berkibar dimana-mana. Pesta
tak selesai. Berganti luapan kemarahan.
Banjarmasin menyala. Api membakar dada, api membakar hati, api membakar kepala,
api membakar kota, (Film dokumenter-
Jumat Kelabu)
Banjarmasin 23 Mei 1997
Langit Jumat tiba-tiba memerah. Ketegangan terasa di seluruh penjuru kota. Kampanye saat itu yang seharusnya meriah, berganti dengan kerusuhan dan penjarahan dimana-mana.
Peristiwa, yang kemudian dikenal dengan Jumat kelabu ini awalnya sederhana. Ketika orang-orang
sedang melakukan sholat Jumat, sekelompok massa yang entah datang darimana,
tiba-tiba ber-konvoi dan ramai. Mereka ditengarai merupakan masa sebuah partai politik yang
memang sangat berjaya di jaman orde baru.
Kerusuhan usai Jumatan
tersebut, tak terelakkan. Tidak tahu siapa yang memulai. Pembakaran terjadi
dimana-mana.
“Taman
hijau tak pernah berdusta. Ratusan manusia ditelanjangi.Teman,teman dari teman
hilang entah kemana”
Jumat kelabu tersebut memang
terasa singkat. Namun, laporan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBI)
menyebutkan ada 123 orang yang terpanggang dalam sebuah mall, 118 orang
luka-luka179 orang hilang. Tidak diketahui pasti mereka siapa dan dengan niatan
apa, dalam mall yang sebenarnya sudah tutup dan ditinggalkan para pemilik toko
dan karyawannya.
makam masal kerusuhan 1997 Banjarmasin (foto : merdeka.com) |
“Aku melihat persis di depan
mata, para perusuh merusak rolling door
dan membakar pusat perbelanjaan. Mereka menjarah dan kemudian membakarnya, “
ungkap Ichal Iloenx, wartawan amatir, salah satu saksi mata seperti dikutip
dari film Jumat Kelabu, produksi PCC Banjarmasin..
Sayangnya, peristiwa penting
ini tak banyak di ekspose bahkan seakan hilang begitu saja dari catatan sejarah
Banjarmasin. Tidak terselesaikan secara jelas, apakah ini konflik politik atau
mungkin konflik agama. Namun, para keluarga korban bahkan masyarakat umum,
masih mengingat jelas kejadian ini.
Apalagi hingga kini, makam
para korban – yang tidak teridentifikasi lagi tersebut -- – dimakamkan dalam satu
liang lahat, di jl. A.Yani km 22
Banjarmasin. Kejadian ini juga menjadi salah satu catatan kelam di masa-masa
terakhir orde baru
^^.
Film dokumenter Jumat Kelabu – akhirnya -- menjadi salah satu penting catatan penting peristiwa kerusuhan di Banjarmasin, 23 Mei 1997.
Selain film ini,
sebenarnya bila kita cek di Youtube saat ini ada pula beberapa catatan tentang
peristiwa ini. Baik berupa film pendek dokumenter sampai berupa cerita
bergambar.
Adalah seorang Zainal
Muttaqin, anak muda , saat itu baru menamatkan kuliahnya di Univeristas Islam
Kalimantan (Uniska) Banjarmasin, bersama
kawan-kawannya di komunitas Fotografi yang berinsiatif membuat film pendek
Jumat Kelabu
“ Sebenarnya awalnya dari
ketertarikan di foto kemudian ikut komunitas foto. Di 2009 sudah ikut komunitas
foto. Kemudian kita bikin foto
menjadi bentuk video. Kita bikin film dokumenter Jumat Kelabu, kejadian kerusuhan
1997 di kota Banjarmasin, “ ujar Director film "Jumat Kelabu" ketika ditemui di sela-sela mengajar di
SMKN 3 Banjarmasin, belum lama ini.
Zainal mengaku, pengerjaan
pembuatan film ini membutuhkan waktu hingga dua tahun. “Riset sampai mencari
nara sumber 2013-2015. Perlu riset yang kuat, lalu ada ajakan dari seorang
kawan untuk bikin sebuah naskah fiksi dalam bentuk film pendek. Dari situ kami
kenal bentuk film,“ tambahnya menceritakan awal keterlibatan dalam dunia sineas
di Kalimantan Selatan.
Film pendek Jumat Kelabu,
kemudian seakan membuka jalan bagi Zainal untuk terus menekuni dunia sinema,
khususnya film pendek, di Kalimantan Selatan..
sekretariat Forum Sineas Banua (dok : FSB) |
Di 2016, bersama beberapa kawan, akhirnya mereka mendirikan Forum Sineas Banua . Sebuah forum bagi sinema dan sineas di Kalimantan Selatan.
Zainal bersama teman-teman FSB (Dokumentasi FSB) |
Sineas-sineas banua—sebutan untuk sineas Kalimantan Selatan—memang kini sudah mulai bermunculan. “ Sineas banua semakin ke sini semakin banyak. Awal-awal dulu sulit melihat orang-orangnya. Semakin ke sini semakin banyak kegiatan, “ ujar Pengajar honorer SMKN 3 Banjarmasin di mata pelajaran tata kamera, jurusan broadcasting film, ketika ditemui beberapa waktu lalu.
Kehadiran sineas-sineas di Banjarmasin memang tak lepas dari perkembangan film lokal oleh sineas lokal Kalimantan Selatan. Saat ini di Banjarmasin, bahkan sudah ada dua SMKN dengan jurusan broadcastng film, yang otomatis menambah orang-orang yang berkegiatan di dunia sinema.
Prestasi yang dihadirkan ternyata sudah sangat banyak bahkan sudah sampai di tingkat nasional. SMKN 3 Banjarmasin misalnya, melalui sebuah PH bernama Sapakawanan Project sudah banyak mengangkat berbagai tema untuk pembuatan filmnya. Kebanyakan tema sosial dan lingkungan.
Tentu yang dibuat masih
dalam bentuk film pendek. “Batasan film pendek secara umum biasanya dipetakan
melalui festival. Secara umum batasan maksimal 30 menit dan minimal 1 menit
juga bisa bahkan 30 detik, “ tambah Zainal. Namun film pendek meskipun dibatasi
durasi tetap harus ada sebuah benang merahnya.
Idealisme Disuarakan Lewat Film
Tidak seperti film layar
lebar dengan imbalan profit, film pendek umumnya dibuat hanya untuk menyuarakan
idealisme.
Tidak heran, sineas banua,
tak banyak bekerjasama dengan berbagai pengusaha dan perusahaan di Kalimantan
Selatan. Apalagi rata-rata di Kalsel para pengusaha besar umumnya merupakan
perusahaan tambang, yang notabene
usahanya justru seolah menjadi bertentangan dengan idealisme sebagian besar
sineas.
Padahal film-film yang
dibuat rata-rata berisi ajakan yang diantaranya untuk menghindari pencemaran,
menyuarakan keresahan soal perusahaan tambang, maupun masalah-masalah sosial lainnya.
Dukungan pemerintah daerahpun
masih sangat terbatas. “ Ada dana daerah tetapi tetap pakai tender, harus
menggunakan badan usaha,” jelas Zainal.
Ini, ujarnya berbeda sekali
dengan daerah seperti Jogjakarta, yang memiliki dana istimewa dan sangat mudah
dicairkan, sehingga insan prfilman daerah Jogjakarta dengan mudah bisa
menggunakan dana ini untuk pembuatan film-film pendek.
kegiatan pemutaran film 13 Juli 2021 (dokumentasi FSB) |
Memang tak ada nilai resmi berapa dana yang dibutuhkan untuk pembuatan satu film pendek. “ Tergantung naskah,” tambah mantan ketua Forum Sineas Banua ini.
Namun, untuk film pendek
dengan naskah standar, paling tidak membutuhkan dana minimal Rp15 juta rupiah.
Nah, darimana mereka
mendapatkan dana tersebut untuk membiayai pembuatan filmnya? Mereka ternyata
rata-rata bekerja di bidang lain dan membiayai pembuatan filnya dari kantong
pribadi!
Selain itu penghasilan
mereka dapatkan dari mengajukan proposal ke Kementerian terkait kemudian juga dari hadiah berbagai
festival. “Hadiah festival biasanya digunakan untuk pembiayaan film
berikutnya,” tambahnya.
kegiatan pembuatan film tematik (dokumentasi : forum sineas banua) |
Meskipun bisa dikatakan mengalami kesulitan dalam hal pendanaan, tetapi tantangan itu tak sedikitpun menyurutkan langkah mereka untuk membuat lagi film-film baru sesuai idealisme.
“Satu film paling cepat 3
bulan dan paling lama bisa lebih dari dua tahun,” tambah Zainal. Meskipun tanpa
embel-embel profit, insan per-filman lokal ini tetap puas bila filmnya berhasil
disaksikan banyak orang, menjadi acuan sejarah atau kritik sosial sampai
memenangkan festival.
Kontribusi pada literasi film dan Suarakan Kegelisahan
Literasi film menjadi poin
penting hadirnya organisasi semacam Forum Sineas Banua.
Melalui program Ngofi
(Ngobrol Film) yang merupakan produk dari Bidang Apresiasi di FSB, mereka
berkeliling ke berbagai wilayah atau daerah di Kalsel untuk memutarkan film
baik berupa film lokal maupun film luar sebagai tambahan.
kegiatan ngofi (dokumentasi Forum Sineas Banua) |
Tak lupa dihadirkan pula
sineas lokal maupun luar daerah – produser,sutradara atau tata kamera—untuk
diajak berdiskusi bersama masyarakat tentang film yang diputar tersebut. “
Kadang ke luar daerah, bahkan ke pesantren-pesantren. Namanya juga layar
alternatif,” tambahnya,
“Film harus didiskusikan
biar ada dampak dari film yang diputarkan tersebut. Program ini yang waktu itu
diusulkan di Satu Indonesia Awards,” ujar penerima SATU Indonesia Awards 2018 untuk tingkat provinsi.
Walaupun sebenarnya dalam
film sudah ada unsur edukasi yang tampak, namun melalui program Ngofi ini, FSB
ingin menularkan semangat dalam film melalui diskusi juga.
Ngofi juga mengembalikan cinta masyarakat kepada layar alternatif (sejenis layar tancap zaman dulu) .
“ Namanya layar alternatif, tidak
harus selalu besar tempatnya tapi kami sudah ada standar supaya jelas
visualnya. FSB punya inventaris atau menyewa alat agar tak asal memutar, “
jelas Zainal..
Bahkan pernah ada program “
Layar Tajak”. Program ini pasarnya adalah kampung-kampung yang tidak tersentuh
oleh dunia film selama ini. Tujuannya agar, memori mereka masa lalu ketika
menonton layar tancap (layar alternatif) kembali lagi.
Angkat Isu Kearifan Lokal
Di Kalsel sendiri sudah
sangat banyak ide-ide dari para sineas untuk pembuatan film pendek ke depannya.
Namun kelemahannya, karena terbatasnya dana, untuk membuat sebuah proyek
menjadi nyata, mereka masih dihadapkan kepada keterbatasan dana.
Namun sikap optimistis tetap
mereka rasakan. Mengangkat isu lokal dan membuat film tentang daerah Kalsel
sendiri menjadi salah satu harapan untuk terus berkontribusi bagi negeri.
“Tidak perlu membicarakan
masyarakat daerah lain , cukup yang dekat dengan kita saja. Tidak perlu
jauh-jauh mencari ide, kawan-kawan bisa mengangkat budaya lokal sendiri ,”
tegas Zainal.
Misalnya menurutnya beberapa
hal yang belum diangkat antara lain budaya Banjar Bepandung, isu lingkungan
Kalsel, peristiwa banjir besar di Kalsel 2021, kerusuhan 1997 yang belum ada film fiksi-nya sampai soal Jamban
di sungai-sungai Kalsel yang belum diangkat menjadi film.
“Semua film kita berbahasa
Banjar dan dialek asli Banjar. Kita dari FSB selalu mengedukasi untuk membuat
film dengan mengangkat lokalitas dan memakai dialek Banjar yang tentu berbeda
dengan daerah lain Akan ada translate-nya sesuai distribusi filmnya, “
tutupnya. #
* Tulisan ini diikutkan dalam blog competition Anugerah pewarta Astra 2022"
Efek dari ketidakstabilan politik ya, ananda Enny. Yang jadi korban kita rakyat kecil.
BalasHapus